Asal mula lahirnya sintren sendiri adalah sebenarnya sebagai permainan dikala petang kaum ibu dan putra-putrinya yang tengah menunggu suami/ayah mereka pulang dari mencari ikan di laut.. Permainan sintren itu terus dilakukan hampir tiap sore dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka, maka lama-kelamaan Sintren berubah menjadi sebuah permainan sakral menunggu para nelayan pulang. Tapi pada perkembangannya kesenian ini kemudian dijadikan sebagai objek mencari nafkah untuk seniman yang tidak melaut. Mereka berkeliling kampung mementaskan kesenian ini dengan mengandalkan saweran dari para penonton.
Kesenian Sintren yang tak lagi sekedar permainan ini digawangi oleh beberapa awak yang terdiri dari para juru kawih/sinden yang diiringi dengan beberapa gamelan seperti buyung (sebuah alat musik pukul yang menyerupai gentong terbuat dari tanah liat), rebana, dan waditra lainya seperti , kendang, gong, dan kecrek dan tentu saja pemain sintren itu sendiri. Sebelum dimulai, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang dimaksudkan untuk mengundang penonton.
Syairnya begini :
Tambak tambak pawonIsie dandang kukusan // Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul. // (Tambak-tambak dapur // Isinya dandang kukusan // Kalau ada kebul-kebul yang nonton pada kumpul)
Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu penonton sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair berikutnya:
Turun sintrén, sintréné widadari // Nemu kembang yun ayunan // Nemu kembang yun ayunan // Kembangé si Jaya Indra // Widadari temurunan // Kang manjing ning awak ira // Turun-turun sintrén // Sintrené widadari // Nemu kembang yun ayunan // Nemu kembang yun ayunan // Kembangé si Jaya Indra // Widadari temurunan // Kembang katés gandul // Pinggiré kembang kenanga // Kembang katés gandul // Pinggiré kembang kenanga // Arep ngalor arep ngidul // Wis mana gagéya lunga // Kembang kenanga // Pinggiré kembang melati // Kembang kenanga // Pinggiré kembang melati // Wis mana gagéya lunga // Aja gawé lara ati // Kembang jaé laos // Lempuyang kembangé kuning // Kembang jaé laos // Lempuyang kembangé kuning // Ari balik gagé elos // Sukiki menéya maning // Kembang kilaras // Ditandur tengaé alas // Paman-bibi aja maras // Dalang sintrén jaluk waras…
Di tengah-tengah kawih diatas, muncullah Sintren yang masih muda belia. Yang konon haruslah seorang gadis, karena kalau Sintren dimainkan oleh wanita yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang pas. Kemudian sintren diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki, sehingga secara logika, tidak mungkin Sintren dapat melepaskan ikatan tersebut dalam waktu cepat. Lalu Sintren dimasukan ke dalam sebuah carangan (kurungan) yang ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan terus menggema, dua orang yang disebut sebagai pawang tak henti-hentinya membaca doa dengan asap kemenyan mengepul. Juru kawih terus berulang-ulang nembang :
Gulung gulung kasa // Ana sintren masih turu // Wong nontone buru-buru // Ana sintren masih baru
Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih dalam keadaan tidur. Namun begitu kurungan dibuka, anehnya sang sintren telah berganti busana lengkap dengan kaca mata hitam. Saya sendiri kurang begitu tahu kenapa atribut kaca mata hitam ini selalu disertakan dalam tiap pertunjukan sintren. Setelah itu sang sintren pun akan menari. Tarian sintren sendiri lebih mirip orang yang ditinggalkan rohnya. Terkesan monoton dengan gesture yang kaku dan kosong. Dan disinilah uniknya kesenian ini. Ketika sang sintren menari, para penonton akan melemparkan uang logam ke tubuh sang penari. Ketika uang logam itu mengenai tubuhnya, maka penari sintren pun akan pingsan dan baru akan bangun kembali setelah diberi mantra-mantra oleh sang pawang.
Setelah bangun kembali, sang penari sintren pun akan meneruskan kembali tariannya sampai jatuh pingsan lagi ketika ada uang logam yang mengenai tubuhnya. Dan konon, ketika menari tersebut, pemain sintren memang dalam keadaan tidak sadar alias keraksukan. Misteri ini hingga kini belum terungkap, apakah betul seorang Sintren berada dibawah alam sadarnya atau hanya sekedar untuk lebih optimal dalam pertunjukan yang jarang tersebut. Terlepas dari ada tidaknya unsur magis dalam kesenian ini, tetap saja kesenian ini cukup menarik untuk disaksikan.
Bagi anda yang tertarik ingin mementaskan kesenian ini di daerah anda, setidaknya di Cirebon ada dua grup Sintren yang masih eksis dan produktif, masing masing pimpinan Ny. Nani dan Ny. Juju, yang beralamat di Jl. Yos Sudarso, Desa Cingkul Tengah, Gang Deli Raya, Cirebon, Jawa Barat. Kedua kelompok ini sering diundang pentas di berbagai kota di indonesia, bahkan hingga ke luar negeri.
sumber http://arsipbudayanusantara.blogspot.com/
0 komentar:
Post a Comment