Ilustrasi
Menurut Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono, Majelis Hakim mengesahkan kekeliruan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang tidak menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Padahal, PP tersebut mengatur hubungan bisnis antara penyelenggara jasa telekomunikasi dan penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono
“PP 52 Tahun 2000 adalah dasar hukum yang memerintahkan penyelenggara jasa melakukan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan penyelenggara jaringan, di mana salah satu jaringan itu adalah jaringan seluler yang beroperasi di pita 2.1GHz. Majelis Hakim menyatakan perjanjian kerjasama itu (antara Indosat dan IM2-red) adalah perbuatan melawan hukum, sedangkan PP Nomor 52 Tahun 2000 memerintahkan dua pihak untuk bekerjasama,” kata Nonot, Selasa (9/7/2013).
Nonot menambahkan, Majelis Hakim keliru memahami maksud Pasal 9 ayat (2) dari UU Telekomunikasi; dan Penjelasannya. Majelis Hakim mengikuti sepenuhnya pemahaman JPU bahwa IM2 wajib memiliki izin jaringan.
“Pemahaman ini tentu amat fatal, bagaimana mungkin perusahaan yang ingin menyelenggarakan jasa dipaksa harus memiliki jaringan telekomunikasi,” tuturnya.
Nonot menilai ini bertentangan dengan bunyi Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan "Penyelenggara Jasa dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan milik penyelenggara jaringan telekomunikasi".
“Putusan ini ancaman bagi dunia telekomunikasi, kiamat internet sudah di depan mata. Karena kalau putusan ini konsisten kepada semua jaringan, maka kiamat sudah,” kata Nonot.
Seperti diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta kepada Indar Atmanto, karena melakukan perbuatan melawan hukum dengan menandatangani perjanjian kerja sama jaringan 3G agar IM2 dapat menggunakan frekuensi radio 2,1GHz milik Indosat.
Indar dinilai melanggar Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
"Atas penggunaan pita frekuensi radio tersebut PT IM2 tidak membayarkan up-front feesehingga berdasarkan Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), ini merugikan keuangan negara pada 2006-2012 sebesar Rp 1,358 triliun," kata Ketua Majelis Hakim Antonius Widjantono.
Namun, Indar tidak terbukti memperkaya diri sendiri yang mengakibatkan kerugian negara. Ia tidak dijatuhi hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Sebagai gantinya, hakim menghukum IM2 untuk membayarkan uang pengganti sebesar Rp 1,358 triliun.
Indar akan mengajukan banding atas putusan ini. Menurutnya, perkara ini merupakan perbuatan dan tanggung jawab korporasi, bukan perbuatan pribadi. Sementara Indosat, selaku induk perusahaan IM2, juga akan melakukan perlawanan hukum.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Sammy Pangerapan menyatakan, dampak putusan kasus IM2 sangat besar kepada industri penyedia jasa internet.
“Bila IM2 dinyatakan bersalah, maka ada lebih dari 200 penyedia jasa internet yang menerapkan model bisnis serupa, berarti juga harus dinyatakan bersalah dan membayar bea hak penggunaan (BHP) frekuensi sejumlah yang dituduhkan kepada IM2 sebesar Rp 1,358 triliun,” kata Sammy.
Kebanyakan penyedia jasa internet di Indonesia beroperasi dalam skala usaha kecil dan menengah (UKM), yang mustahil membayar denda sebesar itu. Jika denda ini dibebankan kepada penyelenggara jasa internet, menurut Sammy, mereka bisa bangkrut dan berhenti menyediakan jasa internet.
Editor: Wicak Hidayat
0 komentar:
Post a Comment